Biografi Ki Hajar Dewantara

Biografi Ki Hajar Dewantara


Nama Ki Hajar Dewantara pastinya sudah tidak begitu asing lagi di telinga kamu, karena sejak zaman Sekolah Dasar pastinya ia sudah diperkenalkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Bahkan ulasan seputar biografi Ki Hajar Dewantara ini sendiri juga ada dimana-mana, mulai dimuat dalam buku-buku, artikel, dan juga internet. Banyak yang membahas mengenai biografi Ki Hajar Dewantara tersebut. Ia termasuk salah satu pahlawan nasional yang memiliki kontribusi sangat penting di dalam pendidikan masyarakat pribumi pada masa Penjajahan Kolonial Belanda.


Bahkan wajah beliau sendiri juga pernah ditempatkan dalam uang kertas pecahan 20 ribu rupiah keluaran tahun 1998, sehingga pastinya banyak yang sudah tidak asing dengan wajahnya. Namun untuk ulasan seputar biografi Ki Hajar Dewantara mungkin belum banyak yang tahu mengenai tokoh yang satu ini. ia dijuluki sebagai ‘Bapak Pendidikan Indonesia’. Berikut ini setidaknya profil biografi Ki Hajar Dewantara singkat yang harus kamu ketahui


Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Nama Panggilan : Ki Hadjar Dewantara
Agama : Islam
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : Kamis, 2 Mei 1889
Wafat : Yogyakarta, 26 April 1959 (umur 69)
Zodiac : Taurus
Warga Negara : Indonesia
Ayah : Pangeran Soerjaningrat
Ibu : Raden Ayu Sandiah
Istri : Nyi Sutartinah
Anak : Ratih Tarbiyah,
Syailendra Wijaya,
Bambang Sokowati Dewantara,
Subroto Aria mataram,
Sudiro Alimurtolo


Penghargaan

  • Gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada
  • Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959


Masa Muda dan Pendidikan



Ki Hajar Dewantara pada dasarnya merupakan anak dari pasangan Pangeran Soerjaningrat dan juga Raden Ayu Sandiah, beliau berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman yang dulunya sempat mengenyam pendidikan di ELS atau Sekolah Dasar Eropa Belanda kala itu sampai kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA yaitu Sekolah Dokter Bumiputera. Hanya saja dikarenakan Soewardi tersebut sempat sakit, maka ia tidak sempat menamatkan pendidikannya kala itu. Hingga kemudian ia bekerja sebagai penulis dan juga wartawan di beberapa surat kabar.


Awal Karirnya Sebagai Wartawan

Berbicara mengenai biografi Ki Hajar Dewantara ini sendiri meskipun pernah mengenyam pendidikan di sekolah dokter, namun karena tidak sampai tamat dikarenakan oleh kondisi kesehatannya, maka kemudian beliau memutuskan untuk bekerja di surat kabar, diantaranya adalah Sediotomo, kemudian juga Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan juga surat kabar Poesara, pada masa-masa menjadi seorang wartawan ia termasuk penulis yang sangat handal. Karena memang semua tulisannya begitu komunikatif dan juga tergolong tajam dan penuh dengan semangat.


Beliaupun pernah membuat sebuah tulisan yang menyulut kemarahan dari pemerintahan Kolonial Belanda kala itu yang kemudian membuatnya ditangkap sampai dengan diasingkan ke Pulau Bangka, bahkan pengasingan tersebut sebenarnya atas permintaan dari beliau sendiri. hingga kemudian mendapatkan protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan juga Dr. Tjipto Mangunkusumo, mereka inilah yang dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’, hingga kemudian mereka bertiga yang diasingkan, namun ke Belanda.


Aktivitas pergerakan

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Pengasingan Ki Hajar Dewantara

Dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara setidaknya pada tahun 1913 di mana ketika Pemerintah Hindia Belanda akan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat Pribumi kala itu yang nantinya akan digunakan sebagai perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis menimbulkan reaksi kritis yang berasal dari kalangan nasionalis, termasuk di antaranya adalah Soewardi atau Ki Hajar Dewantara, hingga kemudian beliau menuliskan sebuah kolom di dalam surat kabar De Expres dengan judul “ Als ik een Nederlander was” bahkan artikel ini dirasa begitu tajam yang juga termasuk kritikan yang sangat pedas bagi pada pejabat Hindia Belanda kala itu.


Bahkan karena memang gaya tulisan yang dibuatnya berbeda dengan penulisan sebelumnya, maka banyak diantara pejabat yang menyangsikan bahwa tulisan tangan tersebut dibuat oleh Soewardi. Mengulas seputar biografi Ki Hajar Dewantara ternyata dari tulisan beliau tersebut banyak di antaranya yang juga berpendapat jika memang Soewardi yang membuat, maka ada campur tangan dari DD atau Douwes Dekker selaku pimpinan dari De Expres ini yang memang ingin memanas-manasi Soewardi sehingga berani untuk membuat tulisan tersebut. Akibat dari tulisan yang dibuatnya tersebut maka beliau kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, padahal kala itu usianya masih 24 tahun.


Ki Hajar Dewantara Dalam Masa Pengasingan

Membahas seputar biografi Ki Hajar Dewantara saat pengasingan beliau di Belanda sebenarnya memang tidak sendirian, melainkan ditemani oleh kedua sahabatnya, yaitu Douwes Dekker dan juga Tjipto Mangunkusumo, pengasingan ini dilakukan pada tahun 1913. Dalam masa pengasingan tersebut ternyata Soewardi aktif juga di dalam sebuah organisasi yaitu Indische vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang isinya adalah pelajar yang berasal dari Indonesia dan pada tahun yang sama ia juga mendirikan sebuah kantor berita yaitu Indonesiach pers bureau atau yang dikenal sebagai Kantor Berita Indonesia.


Berkenaan dengan biografi Ki Hajar Dewantara ini adalah awal mula Soewardi merintis cita-citanya untuk memajukan para kaum pribumi dengan belajar mengenai ilmu pendidikan sampai nantinya berhasil mendapatkan akta atau ijazah pendidikan, sehingga dari akta atau ijazah tersebut dapat digunakan sebagai pijakan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang sudah didirikannya tersebut. Pada studinya tersebut ia kemudian terpikat dengan ide-ide dari sejumlah tokoh pendidikan Barat, diantaranya adalah Montessori dan juga Froebel, dari pengaruh-pengaruh tersebutlah kemudian membuatnya mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.


Awal Kepulangannya ke Indonesia



Setelah kembalinya ke Indonesia maka pada bulan September tahun 1919 ia kemudian segera bergabung di dalam sekolah binaan dari saudaranya sendiri, sehingga kemudian Soewardi memiliki pengalaman di dalam mengajar, berbekal pengalamannya di dalam mengajar kemudian ia mulai mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang didirikannya sendiri, yaitu sekitar tahun 3 Juli 1992, sekolah ini diberi nama national Onderwijs Institut Tamansiswa atau yang lebih dikenal sebagai Perguruan Nasional Tamansiswa, kala itu Soewardi sudah genap berusia 40 tahun. Pada usia tersebutlah beliau kemudian mengganti nama dengan Ki Hadjar Dewantara dan tidak memakai gelar kebangsawanan di depan namanya. Dalam biografi Ki Hajar Dewantara ini beliau tidak menggunakan gelar kebangsawanannya sebenarnya dengan maksud agar lebih bebas atau leluasa dekat dengan rakyat secara fisik maupun jiwa, tanpa harus memandang kasta.


Bahkan semboyan yang dipakai di dalam sistem pendidikannya ini dikenal di kalangan pendidikan Indonesia yaitu berbunyi ‘ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.’ yang artinya adalah ‘di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.’ Semboyan ini jugalah yang sampai saat ini masih dikenal di dalam pendidikan Indonesia, apalagi pada sekolah-sekolah dasar.


Pengabdian Pada Saat Indonesia Merdeka

Membahas seputar biografi Ki Hajar Dewantara tentunya tidak lengkap tanpa mengenal peran beliau ketika negara Indonesia sudah memasuki fase kemerdekaan, karena ini adalah bagian yang sangat penting, kontribusi beliau sangatlah besar di dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Pada kabinet pertama Republik Indonesia Ki Hajar Dewantara ini langsung diangkat menjadi Menteri Pengajar Indonesia. Dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara pada tahun 1957 beliau telah mendapatkan gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas tertua yang ada di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada.


Atas jasa-jasanya di dalam merintis pendidikan umum, ia kemudian diberikan gelar Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan kemudian hari kelahiran beliau yaitu 28 Nopember tahun 1959 dijadikan atau ditetapkan sebagai Hari Pendidikan nasional.


Menyambung benang merah peradaban

Menurut catatan yang ada dalam biografi Ki Hajar Dewantara saat menerima gelar sebagai doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada beliau pernah memberikan sebuah sambutan. Beliau menyebutkan bahwa pendidikan ala Belanda yang selama itu diberikan kepada masyarakat pribumi tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena memang hanya mementingkan beberapa aspek saja, diantaranya adalah intelektual, individual, material dan juga kepentingan yang berhubungan dengan kolonial, juga tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional Indonesia. bahkan setelah masa penjajahan berakhir sebenarnya sistem pendidikan masyarakat Indonesia kala itu juga masih dipengaruhi secara kuat oleh bekas penjajahan Belanda. Mengulas biografi Ki Hajar Dewantara tentunya sangat penting juga untuk mengenal perkembangan pada pendidikan di negara Indonesia kala itu.


Indonesia telah memiliki akar atau sejarah pendidikan yang sangat panjang sejak melalui masa penjajahan sampai sekarang ini sudah masuk ke era globalisasi. Bahkan pendidikan yang ada di Indonesia sendiri sebenarnya pernah mengalami masa kejayaan ilmu. Dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara hal ini juga sangat banyak disinggung. Pendidikan Indonesia cukup maju pada masa-masa kerajaan, terlihat jelas pada masa kerajaan Kutai yang ada di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara hingga Kerajaan Kalingga dan juga Kerajaan Sriwijaya, hingga kemudian memasuki masa penjajahan dari bangsa-bangsa, maka pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran atau pembodohan.


Dalam biografi Ki Hajar Dewantara juga menyebutkan bahwa ketika bangsa Indonesia telah memasuki masa pejajahan terjadi pembodohan dimana-mana, karena justru berbagai macam ilmu khas yang berasal dari Nusantara justru banyak yang diambil dan juga dipelajari oleh kaum penjajah tersebut, khususnya adalah di Belanda. Dalam biografi Ki Hajar Dewantara sebelumnya juga sudah disebutkan bahwa dalam masa pengasingan ke Belanda beliau kemudian banyak belajar lagi, disana kemudian berkembang sebuah ideology yang mempelajari tentang budaya, bahasa sampai dengan kesusastraan Indonesia.


Meskipun Belanda banyak belajar tentang negara Indonesia justru bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah disini tidak mendapatkan apapun, karena justru bangsa Belanda membodohi, tidak memberikan ilmu apapun kepada bangsa Indonesia, berbeda halnya pada masa penjajahan negara Inggris. Jika dilihat kondisi pendidikan saat itu memang tidak ada upaya di dalam mengembangkan pendidikan yang ada. sehingga pada saat Ki Hajar Dewantara datang dan memberikan banyak kontribusi penting ini sangat berperan di dalam kemajuan pendidikan bangsa Indonesia.


Beberapa Butir Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan



Beliau memang dikenal sebagai sosok yang memiliki peran penting di dalam kemajuan pendidikan yang ada di Indonesia, sehingga ada banyak sekali pemikiran-pemikirannya terkait dengan pendidikan ini, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan saja, melainkan juga pasca kemerdekaan beliau juga memiliki kontribusi yang tergolong begitu besar. Apalagi saat bangsa Indonesia menghadapi carut-marut pendidikan yang terjadi pada masa reformasi dan juga globalisasi.


Butir-butir pemikiran beliau ada di dalam biografi Ki Hajar Dewantara, pada bagian pertama ini beliau melihat pendidikan dengan perspektif atropologis, yaitu bagaimana caranya warga negara meneruskan warisan budaya kepada generasi yang lebih muda dan juga dengan mempertahankan tatanan sosialnya. Pada catatan biografi Ki Hajar Dewantara ini beliau menyatakan bahwa ‘Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan.’ Jadi nantinya segala macam unsur peradaban akan tetap tumbuh dan diteruskan kepada anak cucunya.


Pada bagian kedua dalam biografi Ki Hajar Dewantara disebutkan bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, sehingga nantinya hal tersebut dapat mengangkat derajat negeri dan juga rakyatnya. Sehingga dengan kedudukan yang sejajar nantinya pantas untuk bekerjasama dengan negara-negara yang lain untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Disini diketahui bahwa beliau adalah sosok yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan, bahkan juga berpikiran futuristik.


Jika dilihat dari biografi Ki Hajar Dewantara sistem pendidikan yang digagas oleh beliau adalah sistem pendidikan yang tanggap dan juga mampu untuk menjawab tatanan dunia yang global. Sehingga apa yang terjadi di masa sekarang ini tampaknya memang sudah diprediksi oleh Ki Hajar Dewantara dulu, yaitu dengan konsep pendidikan nasional yang digagasnya. Diantara sistem pendidikan yang digagas tersebut adalah kontinuitet, konvergensi dan juga konsentris. Asas tersebut digunakan untuk mengubah paradigma dan juga pola pikir dalam menyikapi sebuah kemajemukan budaya nasional dan juga internasional.


Bagian ketiga ini adalah bulir akhir dari biografi Ki Hajar Dewantara dimana disini disebutkan bahwa beliau juga memandang penting tentang budi pekerti. Menurut beliau pendidikan ala barat memang hanya berorientasi pada intelektualitas, materialisme dan juga individualisme saja, namun tidak dengan budi pekerti dan memang kurang cocok dengan kebutuhan atau corak dari bangsa Indonesia.


Biografi Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa beliau juga memikirkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak menjadi pintar dan juga unggul dalam aspek kognitif, melainkan juga harus mengembangkan seluruh potensi yang ada seperti diantaranya adalah daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif) dan juga daya karsa (koatif). Sehingga harus membuat anak menjadi sosok yang mandiri dan memiliki kepedulian terhadap orang lain, bangsa dan juga kemanusiaan. Demikianlah ulasan singkat seputar biografi Ki Hajar Dewantara, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.


*Dikutip dari berbagai sumber

Load comments